Makam panjang
Makam panjang menurut ahli filsafat berarti peringatan bahwa perjalanan siar islam dijawa masih panjang dan membutuhkan waktu lama untuk dilaksanakan oleh generasi penerus syeh maulana malik ibrahim dan sultan mahmud saddad alam.
Makam panjang memang berukuran panjang akan tetapi orang yang dikubur tidak sepanjang ukuran makamnya, sebenarnya makam pnjang dulu adalah makam seprti pada umumnya ukuran orang yang dikuburkan, karena suatu peristiwa penyalahgunaan oleh penganut ilmu hitam yang akan menggali makam untuk kesaktian maka sebagai salah satu cara untuk menggalihkan perhatian oleh para antri dibuatlah berukuran panjang dengan cara memindahkan batu nisannya dengan tujuan supaya para penganut ilmu hitam tersebut tertipu.
Nama-nama orang yang dikubur dimakam panjang:
1.saiyid ja'far :mentri dalam negeri
2.saiyid karim :mentri luar negeri
3.saiyid syarif :pnglima perang
4.saiyid jalal :pengawal
5.saiyid jamal :pengawal
6.sayid jalaluddin :pengawal
7.raden ahmad :penjaga pintu gerbang
8.raden sa'id :penjaga pintu gerbang
Kamis, 18 Maret 2010
ASAL-USUL NAMA LERAN
Pada zaman Ratu sima bertahta sekitar abad 8 masehi, pemerintahanya berada disekitar pesisir utara pulau jawa tepatnya dikota Raja Sima, karma kekuasaanya tumbang maka kota sima berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya menempati kota raja yang baru sehingga sima menjadi sebuah desa,
Desa sima yang dimaksud adalah yang sekarang bernama leran.
Berbagai pendapat menyatakan tentang asal-usul nama leran antara lain:
1.berasal dari kata “ler” yang berarti ‘utara’
Alasan: karena adanya 2 bangunan yang bentuknya hampr sama dan letaknya yang satu disisi utara dan yang lain di selatan. Dan yang dimaksud bangunan tersubut adalah bangunan cungkup leran (dibuat oleh brawijaya) yang mirip dengan candi didaerah selatan yang juga dibuat oleh brawijaya.
2. .berasal dari kata”lerean” yang berarti ‘tempat berhenti/istirahat’
Alasan: karena didesa “sima” adalah tempat kali pertama syeh maulana malik ibrahim mengajak sultan mahmud saddad alam dan rombongan berhenti dari perjalanan.
3. .berasal dari kata”ler-leran” yang berarti ‘tempat menggelar’
Alasan: karena didesa “sima” adalah tempat kale pertama syeh maulana malik ibrahim membuka lebar/menggelar siar agama islam
1.FATIMAH BINTI MAIMUN
Fatimah binti Maimun adalah seorang wanita muslim yang telah wafat pada tahun 1082. dabatu nisannya ditemukan di Leran.
Pada saat ditemukan batu nisan (prasati) tersebut tidak dalam keadan menancappada tanah sebagaimana layaknya batu nisan sebuah makam tapi bersandar pada dinding gedung makam yang menurut cerita oarang-orang setempatadalah makamnya RADEN AYU MAS PUTRI atau DEWI RETNO SUWARI yang bernama asli AMINAH binti MAHMUD SADDAH ALAM atau MAHMUD SYAH ALAM.
Para ahli sejarahpunya penafsiran yang berbeda tentang Fatimah binti Maimun bin Hibatallah tetapi diantara para ahli para ahli sejarah belum ada yang ada dapat membuktikan siapa sebenarnya beliau,sebagaimana kisahnya,sejauh mana kiprahnya pada perkembangan islam di Jawa dan bahkan tidak da yang tahu dimana makamnya?
Apabila dilihat pada tahun meninggalnya Fatimah binti Maimun (tahun 1082/ abad ke 11 masehi) maka beliau bukanlah keluarga Syeh Maulana Malik Ibrahim seperti yang diceritakan oleh orang-orang yang hanya tau nama “Fatimah binyi Maimun”saja, karena syeh Maulana Malik ibrahim hidup pada pertengahan pada abad ke 14 masehi samapi awal abad ke 15 masehi.
Kebenaran yang harus diketahui tentang 5 makam yang ada dalam cunkup (gedung makam) dalah makam Aminah binti Mahmud dan para dayangnya.
Apabila ada yang menceritakan kalau “penghuni makam” tersebut adalah keluarga Syeh
Maulana Malik Ibrahim mak yang dimaksud adalah AMINAH binti MAHMUD
SADDAD ALAM,yang tugasnya adalah mengajak Prabu Brawijaya masuk islam dengan cara damai tanpa kekerasan.
2.SYEH MAULANA MALIK IBRAHIM
Syeh Maulana Malik Ibarahim datang ketanah Jawa pad tahun 1369 M. dan tempat yang disinggahai adalah yang skarang ini disebut “pesucinan”karena tempat itu tidak jauh dari tempat bersandarnya perhu yang ditumpangi beliau dan tempat bersandarnya perahu tersebut sekarang disebut “pankalan”.
Pelabuhan “pangkalan” di Leran merupakan salah satu tempat bersandarnya perahu-perhu saudagar,dari beberapa nama pelabuhan yang ada disepanjang sungai antar lain pelabuhan “Bandar”,”Ngablak”,dan”Jenggala”,hal ini dibuktikan dari bekas-bekas Pelabuhan yang masih ada, bahkan samapi saat ini ada sebuah pohon randu tersebut dinamakan “Randu siketan”.
Di Pesucinan itulah syeh Maualan Malik Ibarahim bermukim dan mulai mengenalkan / mengajarkan Islam yang dimulai dari orang-orang sekitar pesucinandan pangkalan yang berkasta Sudra dengan cara memahami keadan sosial dan perekonomian merka serta mampu mengikis perbedaan tingkatan dalam kasta yang selama ini kasta Sudra ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Itulah salah satu keberhasilan Syeh Maulana Malik Ibrahim.
dan syeh maulana malik ibrahim juga membangun sebuah masjid dan dibawah ini adalah masjidnya.
3.PESUCINAN
Nama Pesucinan adalah berasal dari kata “suci” yang berarti tempat sesuci yang berbentuk kubangan tanah tempat menapung air untuk Wudllu’ sebelum Shalat dan terletak disampin Masji.
Kubangan tanah tersebut oleh orang-orang Pesucinan disebut “Pecerean”,berasal dari kata cere yang berarti ”endapan”. Dan secara tradisional pecerean tersebut dijadikan obat poles untuk penyakit Gondok dan penyakit-penyakit lain sejenisnya.
Pada zaman Ratu sima bertahta sekitar abad 8 masehi, pemerintahanya berada disekitar pesisir utara pulau jawa tepatnya dikota Raja Sima, karma kekuasaanya tumbang maka kota sima berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya menempati kota raja yang baru sehingga sima menjadi sebuah desa,
Desa sima yang dimaksud adalah yang sekarang bernama leran.
Berbagai pendapat menyatakan tentang asal-usul nama leran antara lain:
1.berasal dari kata “ler” yang berarti ‘utara’
Alasan: karena adanya 2 bangunan yang bentuknya hampr sama dan letaknya yang satu disisi utara dan yang lain di selatan. Dan yang dimaksud bangunan tersubut adalah bangunan cungkup leran (dibuat oleh brawijaya) yang mirip dengan candi didaerah selatan yang juga dibuat oleh brawijaya.
2. .berasal dari kata”lerean” yang berarti ‘tempat berhenti/istirahat’
Alasan: karena didesa “sima” adalah tempat kali pertama syeh maulana malik ibrahim mengajak sultan mahmud saddad alam dan rombongan berhenti dari perjalanan.
3. .berasal dari kata”ler-leran” yang berarti ‘tempat menggelar’
Alasan: karena didesa “sima” adalah tempat kale pertama syeh maulana malik ibrahim membuka lebar/menggelar siar agama islam
1.FATIMAH BINTI MAIMUN
Fatimah binti Maimun adalah seorang wanita muslim yang telah wafat pada tahun 1082. dabatu nisannya ditemukan di Leran.
Pada saat ditemukan batu nisan (prasati) tersebut tidak dalam keadan menancappada tanah sebagaimana layaknya batu nisan sebuah makam tapi bersandar pada dinding gedung makam yang menurut cerita oarang-orang setempatadalah makamnya RADEN AYU MAS PUTRI atau DEWI RETNO SUWARI yang bernama asli AMINAH binti MAHMUD SADDAH ALAM atau MAHMUD SYAH ALAM.
Para ahli sejarahpunya penafsiran yang berbeda tentang Fatimah binti Maimun bin Hibatallah tetapi diantara para ahli para ahli sejarah belum ada yang ada dapat membuktikan siapa sebenarnya beliau,sebagaimana kisahnya,sejauh mana kiprahnya pada perkembangan islam di Jawa dan bahkan tidak da yang tahu dimana makamnya?
Apabila dilihat pada tahun meninggalnya Fatimah binti Maimun (tahun 1082/ abad ke 11 masehi) maka beliau bukanlah keluarga Syeh Maulana Malik Ibrahim seperti yang diceritakan oleh orang-orang yang hanya tau nama “Fatimah binyi Maimun”saja, karena syeh Maulana Malik ibrahim hidup pada pertengahan pada abad ke 14 masehi samapi awal abad ke 15 masehi.
Kebenaran yang harus diketahui tentang 5 makam yang ada dalam cunkup (gedung makam) dalah makam Aminah binti Mahmud dan para dayangnya.
Apabila ada yang menceritakan kalau “penghuni makam” tersebut adalah keluarga Syeh
Maulana Malik Ibrahim mak yang dimaksud adalah AMINAH binti MAHMUD
SADDAD ALAM,yang tugasnya adalah mengajak Prabu Brawijaya masuk islam dengan cara damai tanpa kekerasan.
2.SYEH MAULANA MALIK IBRAHIM
Syeh Maulana Malik Ibarahim datang ketanah Jawa pad tahun 1369 M. dan tempat yang disinggahai adalah yang skarang ini disebut “pesucinan”karena tempat itu tidak jauh dari tempat bersandarnya perhu yang ditumpangi beliau dan tempat bersandarnya perahu tersebut sekarang disebut “pankalan”.
Pelabuhan “pangkalan” di Leran merupakan salah satu tempat bersandarnya perahu-perhu saudagar,dari beberapa nama pelabuhan yang ada disepanjang sungai antar lain pelabuhan “Bandar”,”Ngablak”,dan”Jenggala”,hal ini dibuktikan dari bekas-bekas Pelabuhan yang masih ada, bahkan samapi saat ini ada sebuah pohon randu tersebut dinamakan “Randu siketan”.
Di Pesucinan itulah syeh Maualan Malik Ibarahim bermukim dan mulai mengenalkan / mengajarkan Islam yang dimulai dari orang-orang sekitar pesucinandan pangkalan yang berkasta Sudra dengan cara memahami keadan sosial dan perekonomian merka serta mampu mengikis perbedaan tingkatan dalam kasta yang selama ini kasta Sudra ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Itulah salah satu keberhasilan Syeh Maulana Malik Ibrahim.
dan syeh maulana malik ibrahim juga membangun sebuah masjid dan dibawah ini adalah masjidnya.
3.PESUCINAN
Nama Pesucinan adalah berasal dari kata “suci” yang berarti tempat sesuci yang berbentuk kubangan tanah tempat menapung air untuk Wudllu’ sebelum Shalat dan terletak disampin Masji.
Kubangan tanah tersebut oleh orang-orang Pesucinan disebut “Pecerean”,berasal dari kata cere yang berarti ”endapan”. Dan secara tradisional pecerean tersebut dijadikan obat poles untuk penyakit Gondok dan penyakit-penyakit lain sejenisnya.
SYEIKH MAULANA MALIK IBRAHIM (SUNAN GRESIK)
Syeh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. sebenarnya jauh sebelum kedatangan beliau di Gresik sudah ada masyarakat Islam walaupun jumlahnya tidak seberapa. Hal ini dapat di buktikan dengan adanya batu nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang wafat pada tahun 475 Hijriyah atau tahun 1082 M.
Syeh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 adalah seorang ahli tata Negara yang ulung. inskripsi yang terdapat pada batu nisan beliau menunjukan hal itu. Huruf-huruf pada batu nisan itu adalah huruf arab, terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian : “Inilah makam almarhum almaghfur yang berharap rahmad Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi para Sultan dan para Menteri penolong para fakir dan miskin yang berbahagia lagi syahid cemerlangnya simbul Negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kake Bantal. Allah meliputinya dengan rahmatnya dan keridlaan-nya dan dimasukan kedalam Surga.
Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 Hijriyah.
Demikianlah bunyi tulisan yang ada di nisan makam Syeh Maulana Malik Ibrahim Penduduk pribumi mengenal beliau sebagai Kake Bantal. Ini membuktikan bahwa pada masa hidup beliau beliau berda’wah dengan cara yang bijaksana beliau dapat beradaptasi dengan masayarakat disekelilingnya.
Agama dan adat istiadat lama tidak langsung ditentangnya dengan frontal dan penuh kekerasan melainkan beliau perkenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasanya sopan, lemah lembut,santun pada fakir miskin, hormat pada yang lebih tua dan menyanyangi kaum muda.
Dengan cara itu ternyata sedikit demi sedikit banyak juga rakyat jawa yang mulai tertarik pada agama Islam dan pada akhirnya mereka menjadi pemeluk agama Islam yang teguh.
Pada masa itu kerajaan yang terbesar di pulau Jawa adalah kerajaan Majapahit. tetapi sesungguhnya kerajaan itu sudah keropos baik dari luar maupun dari dalam. Terutama sejak ditinggalkan oleh Maha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Majapahit dilanda perang saudara yang tidak ada habis-habisnya rakyat jelata menjadi korban. sementara kerajaan-kerajaan lain yang dahulu ditundukkan oleh Mahapatih Gajah Mada sudah banyak yang memisahkan diri.
Kesetiaan para pembesar dan para adipati mulai menipis, banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja, melainkan bertumpuk di kediaman para pembesar dan para adipati. Kejahatan melanda di mana-mana banyak perampok dan pencuri. Bahkan banyak pula satuan-satuan prajurit yang melepaskan diri dan beralih menjadi gerombolan perampok, menggarong harta para penduduk atau rakyat jelata.
Sering kali Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Kake Bantal dan murid-muridnya ketanggor gerombolan perampok ketika mereka sedang berda’wah keliling desa-desa.
Pada suatu hari ada gerombolan perampok menyerang rumah penduduk. Kebetulan salah seorang murid si Kake Bantal mengetahuinya. Murid tersebut segera membantu penduduk desa untuk melawan perampok.
Para penduduk desa bertempur melawan anak buah si pemimpi peampok, sedang murid si Kake Bantal menghadapi pemimpin perampok itu sendiri. Keduanya bertempur dengan seru dan hebat, keduanya sama-sama mengeluarkan ilmu kesaktian hingga pada suatu ketika sang murid berhasil menyerangkan tendangan telak ke dada pemimpin rampok.
Pemimpin rampok itu terjungkal ke tanah dengan nafas kembang kempis. Wajah perampok itu tampak merah padam pertanda marah, agaknya baru kali ini dia menemui lawan yang tangguh. Dia berusaha bangkit berdiri namun tenaganya sudah lemah, mulutnya mengeluarkan darah segar.
“Hayo ! Perintahkan anak buahmu menyingkir dari desa ini !” Bentak murid Kake Bantal sembari melangkah mendekati pemimpin rampok yang jatuh terkapar di tanah. Pemimpin rampok itu hanya terdiam seribu bahasa, sepasang matanya penuh kemarahan menatap kearah murid si Kake Bantal.
“Perintahkan anak buahmu meninggalkan desa ini !” Hardik murid si Kake Bantal sembari berjongkok, sepasang tangannya terkepal dan siap dihantamkan ke dada pemimpin rampok.
Pemimpin rampok itu masih berdiam diri.
“Kalau kau tidak mematuhi perintahku, kuhantam kau dengan pukulan mautku !” ancam murid si Kake Bantal.
Di luar dugaan, tiba-tiba pemimpin rampok itu membuang lidahnya ke wajah murid si Kake Bantal. Murid si Kake Bantal tak sempar mengelak, ludah itupun menempel kewajahnya seketika kulit wajah murid si Kake Bantal menjadi merah padam pertanda marah. Sepasang tangannya terkepal makin erat, sekali dia melayangkan tangannya tentu dada pemimpin rampok itu jadi ambrol.
Melihat kemarahan murid si Kake Bantal seketika wajah pemimpin rampok menjadi pucat-pasi. Hatinya mulai keder.
“Kali ini tamatlah riwayatku, “guman si pemimpin rampok.
Tapi sungguh aneh. Tiba-tiba murid si Kake Bantal mengurungkan serangannya. Dia bangkit berdiri tanpa menggelar sikap siaga. Wajahnya yang tadi merah padam dilanda api kemarahan sekarang pulih kembali seperti sedia kala. Perlahan dia membersihkan ludah di wajahnya.
“Mengapa ? Mengapa kau tak jadi menyerangku ?’’ Tanya pemimpin perampok. ‘’karena tadi kau telah membuatku marah,’’ jawab murid Kake Bantal. ‘’Aku tidak boleh membunuh orang dalam keadaan marah, itu termasuk perbuatan dosa’’ kenapa berdosa ? Bukankah aku orang jahat yang memang pantas untuk di bunuh ?’’ ujar pemimpin perampok itu. ‘’ tadi ………’’ kata murid Kake Bantal.’’ Sebelum kau meludahiku dan sebelum dia marah, aku boleh membunuhmu, karena niatku membunuhmu adalah untuk memerangi kejahatan. Tapi setelah kau meludahiku, maka hatiku jadi marah. Padahal agamaku melarang umatnya untuk menghukum orang dalam keadaan marah. Pemimpin tampak itu tercenung. Untuk beberapa saat dia berdiam diri’’ Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama itu ? Tanya perampok itu. ’’ Islam?’’ jawab murid si Kake Bantal.’ ’Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat dan berbahagia hidupnya di dunia maupun di akhirat.’’ ’’ Aku adalah bekas seorang perwira Majapahit yang membelot dan jadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, dosaku setinggi gunung,’’ kata si pemimpin rampok.’’ Apakah Tuhan masih mengampuniku?’’ ’’ Kenapa tidak?’’ sahut murid si Kake Bantal.’’ Misalkan dosamu setinggi langit dan sepenuh bumi, kalau kau masuk agama Islam, bertobat secara sunguh-sungguh. Artinya kau tidak akan mengulang kejahatanmu, maka Tuhan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu di hapus semuanya.’’ ’’ Benarkah begitu ?’’ sahut pemimpin rampok. ’’ Aku bicara sebenarnya, dusta adalah berbuatan dosa’’ ujar murid Kake Bantal. Tiba-tiba pemimpin rampok itu berusaha bangkit berdiri. Karena tubuhnya masih lemah dia segera robo lagi. cepat-cepat murid Kake Bantal segera menyambarnya. Sementara itu pertempuran antara penduduk desa dengar para perampok masih berlangsung dengan seruhnya. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana. Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran.
’’ Ternyata bentakan itu berasal dari pemimpin rampok yang berdiri di samping murid Kake Bantal. Murid Kake Bantal itu telah menolong pemimpin rampok dengan cara menyalurkan tenaga dalam ke tubuh pemimpin rampok sehingga tenaga pemimpin rampok itu menjadi pulih seperti sedia kala.
’’ Dengarkan semuanya ’’ Aku pemimpin rampok itu. Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku sudah bosan hidup bergelimbang dosa. Mulai hari ini aku masuk agama Islam, menjadi pengikut Kake Bantal.
Kalian yang menjadi anak buahku boleh pilih, tetap jadi gerombolan perampok atau mengikuti jejak baru yang kutempuh hidup secara baik-baik bersama masyarakat’’
Jumlah pemimpin perampok itu ada dua puiluh orang, sepuluh orang langsung membuang senjatanya berupa pedang dan tombak. Mereka menyatakan diri mengikuti pimpinannya yaitu mulai hidup baru secara baik-baik. Namun sepuluh rampok lainnya segera melompat ke punggung kuda dan berkata pemimpin rampok.
“Tekuk Penjalin “ kata mereka. “Tak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri”.
“Terserah kalian “ sahut pemimpin rampok yang ternyata bernama Tekuk Penjalin .” tapi perlu kalian ingat, jangan mencoba coba menganggu desa ini lagi. Bila ini terjadi, maka aku sendiri yang akan membasmi kalian.
Sepuluh orang sudah naik ke punggung kuda itu tidak menjawab melainkan langsung menggebrak kudanya berlari kencang ke luar desa. Beberapa orang penduduk desa yang masih merasa geram segera menendang dan memukuli sepuluh rampok yang duduk bersimpuh di tanah tanpa memegang senjata. Murid Kake Bantal segera membentak penduduk desa itu,” Hentikan, tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri “
“Mereka sudah sering membuat kami menderita “ protes para penduduk. “Sekarang mereka jadi urusanku “ sahut murid Kake Bantal. Murid Kake Bantal kemudian mengajak KI Tekuk Penjalin dan anak buahnya pergi dari desa itu.
Demikianlah salah satu contoh ajaran da’wah yang dilaksanakan Kake Bantal dan murud-muridnya. Mereka sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap perintah agama dan teguh dalam menjauhi kemunkaran.
Sebagian besar penduduk jawa yang masuk Islam adalah dari kalangan rakyat biasa. Mereka yang tergolong dari Kasta Brahmana biasanya enggan menyingkir ke tempat-tempat sunyi, diantaranya mereka ke Tengger dan pulau Bali. Ini dapat mengerti karena kalangan brahmana tidak dapat beraul sederajat dengan kasta Waisya atau Sudra yang kedudukannya diangap lebih rendah dan hina. Dengan masuk Islam berarti mereka merasa dicopot kedudukannya dari derajat yang lebih tinggi karena islam tidak membeda-bedakan umatnya. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Islam datang ke Indonesia ini adalah dengan jalan damai. Tidak seperti agama Nasrani yang datang ke Nusantara bersamaan dengan kaum penjajah.
Menurut berbagai penyelidikan, agama Islam tersiar ke seluruh tanah Jawa dan Nusantara ini dengan jalan damai karena alasan beberapa hal yaitu:
1. Para penyiar agama islam yang datang mula-mula adalah para pedagang Dan ahli Sufi dan para wali.
2. Para mubaligh itu menggunakan metode da’wah yang tepat sasaran Yaitu sebagaimana tersebut dalam AlQur’an yan berbunyi, “Hendaklah engkau ajak orang kejalan Allah dengan hikmah (kebijaksanaan), dengan peringatan-peringatan yan ramah serta bertukar fikiran dengan mereka, dengan cara yang sebaik-baiknya. “(QS. An Nahl:125)
3. Para mubaligh Islam tersebut dapat menyelami dan memahami watak dan jiwa bangsa Indonesia.
4. Sifat toleransi dari bangsa Indonesia itu sendiri yang dapat menerima setiap yang datang dari luar kemudian disesuaikan dengan kepribadian sendiri.
5. Penyiaran Islam di Jawa sebagian besar melalui saluran tasawwuf atau metafisika.
6. Dengan jalan mengawinkan kepercayaan lama dengan kepercayaan baru inilah yan menyebabkan agama Islam dapat tersiar dengan damai.
Sekarang agama Islam sudah tersiar ke seluruh Indonesia, adalah menjadi tugas sarjana-sarjana Islam untuk meluruskan Islam dari berbagai hal yang berbau tahayul dengan cara yang bijaksana tanpa menuding peran Wali yang telah menyebarkan dan memperkenalkan Islam kepada penduduk Nusantara. Setiap jaman ada tantangannya, ibarat hutan, para wali telah membabatnya dan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang nyaman, adalah generasi berikutnya yang harus menyempurnakan pekerjaan para wali tersebut.
Syeh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. sebenarnya jauh sebelum kedatangan beliau di Gresik sudah ada masyarakat Islam walaupun jumlahnya tidak seberapa. Hal ini dapat di buktikan dengan adanya batu nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang wafat pada tahun 475 Hijriyah atau tahun 1082 M.
Syeh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 adalah seorang ahli tata Negara yang ulung. inskripsi yang terdapat pada batu nisan beliau menunjukan hal itu. Huruf-huruf pada batu nisan itu adalah huruf arab, terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian : “Inilah makam almarhum almaghfur yang berharap rahmad Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi para Sultan dan para Menteri penolong para fakir dan miskin yang berbahagia lagi syahid cemerlangnya simbul Negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kake Bantal. Allah meliputinya dengan rahmatnya dan keridlaan-nya dan dimasukan kedalam Surga.
Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 Hijriyah.
Demikianlah bunyi tulisan yang ada di nisan makam Syeh Maulana Malik Ibrahim Penduduk pribumi mengenal beliau sebagai Kake Bantal. Ini membuktikan bahwa pada masa hidup beliau beliau berda’wah dengan cara yang bijaksana beliau dapat beradaptasi dengan masayarakat disekelilingnya.
Agama dan adat istiadat lama tidak langsung ditentangnya dengan frontal dan penuh kekerasan melainkan beliau perkenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasanya sopan, lemah lembut,santun pada fakir miskin, hormat pada yang lebih tua dan menyanyangi kaum muda.
Dengan cara itu ternyata sedikit demi sedikit banyak juga rakyat jawa yang mulai tertarik pada agama Islam dan pada akhirnya mereka menjadi pemeluk agama Islam yang teguh.
Pada masa itu kerajaan yang terbesar di pulau Jawa adalah kerajaan Majapahit. tetapi sesungguhnya kerajaan itu sudah keropos baik dari luar maupun dari dalam. Terutama sejak ditinggalkan oleh Maha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Majapahit dilanda perang saudara yang tidak ada habis-habisnya rakyat jelata menjadi korban. sementara kerajaan-kerajaan lain yang dahulu ditundukkan oleh Mahapatih Gajah Mada sudah banyak yang memisahkan diri.
Kesetiaan para pembesar dan para adipati mulai menipis, banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja, melainkan bertumpuk di kediaman para pembesar dan para adipati. Kejahatan melanda di mana-mana banyak perampok dan pencuri. Bahkan banyak pula satuan-satuan prajurit yang melepaskan diri dan beralih menjadi gerombolan perampok, menggarong harta para penduduk atau rakyat jelata.
Sering kali Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Kake Bantal dan murid-muridnya ketanggor gerombolan perampok ketika mereka sedang berda’wah keliling desa-desa.
Pada suatu hari ada gerombolan perampok menyerang rumah penduduk. Kebetulan salah seorang murid si Kake Bantal mengetahuinya. Murid tersebut segera membantu penduduk desa untuk melawan perampok.
Para penduduk desa bertempur melawan anak buah si pemimpi peampok, sedang murid si Kake Bantal menghadapi pemimpin perampok itu sendiri. Keduanya bertempur dengan seru dan hebat, keduanya sama-sama mengeluarkan ilmu kesaktian hingga pada suatu ketika sang murid berhasil menyerangkan tendangan telak ke dada pemimpin rampok.
Pemimpin rampok itu terjungkal ke tanah dengan nafas kembang kempis. Wajah perampok itu tampak merah padam pertanda marah, agaknya baru kali ini dia menemui lawan yang tangguh. Dia berusaha bangkit berdiri namun tenaganya sudah lemah, mulutnya mengeluarkan darah segar.
“Hayo ! Perintahkan anak buahmu menyingkir dari desa ini !” Bentak murid Kake Bantal sembari melangkah mendekati pemimpin rampok yang jatuh terkapar di tanah. Pemimpin rampok itu hanya terdiam seribu bahasa, sepasang matanya penuh kemarahan menatap kearah murid si Kake Bantal.
“Perintahkan anak buahmu meninggalkan desa ini !” Hardik murid si Kake Bantal sembari berjongkok, sepasang tangannya terkepal dan siap dihantamkan ke dada pemimpin rampok.
Pemimpin rampok itu masih berdiam diri.
“Kalau kau tidak mematuhi perintahku, kuhantam kau dengan pukulan mautku !” ancam murid si Kake Bantal.
Di luar dugaan, tiba-tiba pemimpin rampok itu membuang lidahnya ke wajah murid si Kake Bantal. Murid si Kake Bantal tak sempar mengelak, ludah itupun menempel kewajahnya seketika kulit wajah murid si Kake Bantal menjadi merah padam pertanda marah. Sepasang tangannya terkepal makin erat, sekali dia melayangkan tangannya tentu dada pemimpin rampok itu jadi ambrol.
Melihat kemarahan murid si Kake Bantal seketika wajah pemimpin rampok menjadi pucat-pasi. Hatinya mulai keder.
“Kali ini tamatlah riwayatku, “guman si pemimpin rampok.
Tapi sungguh aneh. Tiba-tiba murid si Kake Bantal mengurungkan serangannya. Dia bangkit berdiri tanpa menggelar sikap siaga. Wajahnya yang tadi merah padam dilanda api kemarahan sekarang pulih kembali seperti sedia kala. Perlahan dia membersihkan ludah di wajahnya.
“Mengapa ? Mengapa kau tak jadi menyerangku ?’’ Tanya pemimpin perampok. ‘’karena tadi kau telah membuatku marah,’’ jawab murid Kake Bantal. ‘’Aku tidak boleh membunuh orang dalam keadaan marah, itu termasuk perbuatan dosa’’ kenapa berdosa ? Bukankah aku orang jahat yang memang pantas untuk di bunuh ?’’ ujar pemimpin perampok itu. ‘’ tadi ………’’ kata murid Kake Bantal.’’ Sebelum kau meludahiku dan sebelum dia marah, aku boleh membunuhmu, karena niatku membunuhmu adalah untuk memerangi kejahatan. Tapi setelah kau meludahiku, maka hatiku jadi marah. Padahal agamaku melarang umatnya untuk menghukum orang dalam keadaan marah. Pemimpin tampak itu tercenung. Untuk beberapa saat dia berdiam diri’’ Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama itu ? Tanya perampok itu. ’’ Islam?’’ jawab murid si Kake Bantal.’ ’Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat dan berbahagia hidupnya di dunia maupun di akhirat.’’ ’’ Aku adalah bekas seorang perwira Majapahit yang membelot dan jadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, dosaku setinggi gunung,’’ kata si pemimpin rampok.’’ Apakah Tuhan masih mengampuniku?’’ ’’ Kenapa tidak?’’ sahut murid si Kake Bantal.’’ Misalkan dosamu setinggi langit dan sepenuh bumi, kalau kau masuk agama Islam, bertobat secara sunguh-sungguh. Artinya kau tidak akan mengulang kejahatanmu, maka Tuhan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu di hapus semuanya.’’ ’’ Benarkah begitu ?’’ sahut pemimpin rampok. ’’ Aku bicara sebenarnya, dusta adalah berbuatan dosa’’ ujar murid Kake Bantal. Tiba-tiba pemimpin rampok itu berusaha bangkit berdiri. Karena tubuhnya masih lemah dia segera robo lagi. cepat-cepat murid Kake Bantal segera menyambarnya. Sementara itu pertempuran antara penduduk desa dengar para perampok masih berlangsung dengan seruhnya. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana. Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran.
’’ Ternyata bentakan itu berasal dari pemimpin rampok yang berdiri di samping murid Kake Bantal. Murid Kake Bantal itu telah menolong pemimpin rampok dengan cara menyalurkan tenaga dalam ke tubuh pemimpin rampok sehingga tenaga pemimpin rampok itu menjadi pulih seperti sedia kala.
’’ Dengarkan semuanya ’’ Aku pemimpin rampok itu. Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku sudah bosan hidup bergelimbang dosa. Mulai hari ini aku masuk agama Islam, menjadi pengikut Kake Bantal.
Kalian yang menjadi anak buahku boleh pilih, tetap jadi gerombolan perampok atau mengikuti jejak baru yang kutempuh hidup secara baik-baik bersama masyarakat’’
Jumlah pemimpin perampok itu ada dua puiluh orang, sepuluh orang langsung membuang senjatanya berupa pedang dan tombak. Mereka menyatakan diri mengikuti pimpinannya yaitu mulai hidup baru secara baik-baik. Namun sepuluh rampok lainnya segera melompat ke punggung kuda dan berkata pemimpin rampok.
“Tekuk Penjalin “ kata mereka. “Tak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri”.
“Terserah kalian “ sahut pemimpin rampok yang ternyata bernama Tekuk Penjalin .” tapi perlu kalian ingat, jangan mencoba coba menganggu desa ini lagi. Bila ini terjadi, maka aku sendiri yang akan membasmi kalian.
Sepuluh orang sudah naik ke punggung kuda itu tidak menjawab melainkan langsung menggebrak kudanya berlari kencang ke luar desa. Beberapa orang penduduk desa yang masih merasa geram segera menendang dan memukuli sepuluh rampok yang duduk bersimpuh di tanah tanpa memegang senjata. Murid Kake Bantal segera membentak penduduk desa itu,” Hentikan, tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri “
“Mereka sudah sering membuat kami menderita “ protes para penduduk. “Sekarang mereka jadi urusanku “ sahut murid Kake Bantal. Murid Kake Bantal kemudian mengajak KI Tekuk Penjalin dan anak buahnya pergi dari desa itu.
Demikianlah salah satu contoh ajaran da’wah yang dilaksanakan Kake Bantal dan murud-muridnya. Mereka sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap perintah agama dan teguh dalam menjauhi kemunkaran.
Sebagian besar penduduk jawa yang masuk Islam adalah dari kalangan rakyat biasa. Mereka yang tergolong dari Kasta Brahmana biasanya enggan menyingkir ke tempat-tempat sunyi, diantaranya mereka ke Tengger dan pulau Bali. Ini dapat mengerti karena kalangan brahmana tidak dapat beraul sederajat dengan kasta Waisya atau Sudra yang kedudukannya diangap lebih rendah dan hina. Dengan masuk Islam berarti mereka merasa dicopot kedudukannya dari derajat yang lebih tinggi karena islam tidak membeda-bedakan umatnya. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Islam datang ke Indonesia ini adalah dengan jalan damai. Tidak seperti agama Nasrani yang datang ke Nusantara bersamaan dengan kaum penjajah.
Menurut berbagai penyelidikan, agama Islam tersiar ke seluruh tanah Jawa dan Nusantara ini dengan jalan damai karena alasan beberapa hal yaitu:
1. Para penyiar agama islam yang datang mula-mula adalah para pedagang Dan ahli Sufi dan para wali.
2. Para mubaligh itu menggunakan metode da’wah yang tepat sasaran Yaitu sebagaimana tersebut dalam AlQur’an yan berbunyi, “Hendaklah engkau ajak orang kejalan Allah dengan hikmah (kebijaksanaan), dengan peringatan-peringatan yan ramah serta bertukar fikiran dengan mereka, dengan cara yang sebaik-baiknya. “(QS. An Nahl:125)
3. Para mubaligh Islam tersebut dapat menyelami dan memahami watak dan jiwa bangsa Indonesia.
4. Sifat toleransi dari bangsa Indonesia itu sendiri yang dapat menerima setiap yang datang dari luar kemudian disesuaikan dengan kepribadian sendiri.
5. Penyiaran Islam di Jawa sebagian besar melalui saluran tasawwuf atau metafisika.
6. Dengan jalan mengawinkan kepercayaan lama dengan kepercayaan baru inilah yan menyebabkan agama Islam dapat tersiar dengan damai.
Sekarang agama Islam sudah tersiar ke seluruh Indonesia, adalah menjadi tugas sarjana-sarjana Islam untuk meluruskan Islam dari berbagai hal yang berbau tahayul dengan cara yang bijaksana tanpa menuding peran Wali yang telah menyebarkan dan memperkenalkan Islam kepada penduduk Nusantara. Setiap jaman ada tantangannya, ibarat hutan, para wali telah membabatnya dan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang nyaman, adalah generasi berikutnya yang harus menyempurnakan pekerjaan para wali tersebut.
Sunan Kalijaga
Raden. Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.
Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).
Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.
Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.
ujarnya pula :
“Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”
Artinya :
Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya :
“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah”
Artinya :
jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:
“Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”
kemudian katanya pula :
“wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan :
“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.
Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya :
“Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar.”
Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar :
“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.
Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.
Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.
Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.
Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.
Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.
Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.
Raden. Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.
Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).
Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.
Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.
ujarnya pula :
“Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”
Artinya :
Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya :
“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah”
Artinya :
jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:
“Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”
kemudian katanya pula :
“wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan :
“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.
Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya :
“Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar.”
Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar :
“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.
Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.
Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.
Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.
Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.
Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.
Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.
SUNAN GUNUNG JATI
DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,'' Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,'' Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja’far Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging –wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : “Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan – kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia – sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa – jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang – kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak – inguk), tiba – tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba – tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing – masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar – putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja’far Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging –wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : “Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan – kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia – sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa – jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang – kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak – inguk), tiba – tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba – tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing – masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar – putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.
Senin, 15 Maret 2010
SUNAN MURIA
RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.
Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.
RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.
Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.
Langganan:
Postingan (Atom)